Sunday, November 28, 2004 |
Ujian... ujian... |

Rabu kemarin, ikutan ujian CPNS. Katanya, seleksi CPNS yang sekarang betul-betul bersih. Tidak ada lagi yang namanya "jalur khusus". Soal ujian dikirim dan diperiksa langsung dari pusat.
Saya sendiri, sebenarnya skeptis jika seleksi CPNS yang sekarang benar-benar bersih. Teringat dengan cerita teman, salah seorang senior kami lolos seleksi CPNS, dengan mengucurkan sejumlah uang. Empatpuluh juta, nominal yang sangat besar bagi saya. Empat puluh juta, itu berarti (jika gaji sebulan berkisar satu koma dua juta) selama lebihkurang tiga tahun bekerja hanya untuk "orang" yang meloloskan jalan menjadi PNS. Betapa bodohnya.
Mungkin saja, jaminan hidup menjadi pertimbangan. Ya, menjadi PNS, setelah memasuki masa lanjut usia alias pensiun, tetap akan memperoleh tunjangan. Belum lagi, para tauladan, penyandang predikat punggawa dan pembesar PN, dengan segala 'kemudahan fasilitasnya', dengan segala 'permainannya', menjadi acuan bahwa menjadi pegawai negeri merupakan jalan untuk berlimpah materi. Mungkin karena itu pula, semakin banyak pula cara untuk lolos atau masuk menjadi pegawai negeri. Dengan segala jerat kolusi dan nepotisme tentunya.
Saya tetap skeptis dengan seleksi CPNS. Tapi anehnya, saya tetap mengikuti ujian seleksinya. Tidak berpendirian bukan? Mengikuti ajakan teman, untuk sekedar coba-coba dan cari pengalaman. "Nothing to loose," katanya. Dan memang, saat ujian kemarin setidaknya menjadi semacam reuni dengan beberapa sahabat yang telah lama berpisah ^_^
Eh iya, kalo nanti hasilnya ternyata lulus, dengan posisi saya yang sekarang, nggak bakalan bisa jadi PNS juga ;p
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 2:25 PM |
|
|
|
Sunday, November 21, 2004 |
Di atas kapal |
  
Rabb, kami rapuh di hadapanMu, sebagaimana buih di lautan
pecah gelombang
Rabb, kami kecil di hadapanMu,
lemah dalam keterbatasan kata mengagungkanMu, memujiMu
berujar takbir tahlil dan tahmid
dari bilik kecil buritan kapal
dalam ayunan gelombang,
bertanya-tanya; patutkah diri ini meraya kemenangan?
dalam ayunan gelombang,
bertanya-tanya; akankah kau sampaikan diri ini pada ramadhan berikut?
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 1:22 PM |
|
|
|
Friday, November 12, 2004 |
Taqobalallahu minna wa minkum |
Tiga pilihan ; ke jakarta lewat jalur udara lalu lanjut ke semarang melalui jalur darat, atau melewati jalur udara ke surabaya lalu lewat jalur darat ke semarang, atau lewat jalur laut langsung ke semarang.
Tiga pilihan, dari makassar ke semarang. Sebelumnya di H-10 lalu, pilihan jatuh pada ke semarang langsung melalui jalur udara. Tapi rencana berubah, berhubung jadwal ujian yang molor. Tiket yang sudah dibooking terpaksa dibatalkan. Dan, alhasil, tak satupun hari setelahnya saya mendapatkan tiket penerbangan ke semarang.
Dari tiga pilihan alternatif lainnya, saya memutuskan memilih yang ketiga. Dua hari perjalanan, itu berarti, insya Allah saya akan berlebaran di atas kapal, di atas lautan. Semoga akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Tiket beli di calo sudah di tangan, -keliling nyari tiket di agen perjalanan sudah kehabisan- kunci rumah siap dititip ke tetangga baik hati yang kebetulan tidak mudik. Saya mohon pamit mudik. Rumah maya ini saya titip pada kalian ya, kalian yang senantiasa menjalin silaturrahim, menjabat hati ini melalui perantara salam, kabar, candaan tanpa suara, di taggie dan comsys.
Tersilap kata, tersalah bahasa, tersinggung perasaan.
Satu harapan mohon kemaafan.
Berputih hati sambut aidil fithri.
Taqobalallahu minna wa minkum.
Maaf lahir dan batin.
Semoga dipertemukan kembali di ramadhan tahun depan.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 7:46 AM |
|
|
|
Thursday, November 11, 2004 |
Malpraktek |
Malpraktek. Satu kata yang semakin sering terbaca dan terdengar, di media cetak pun elektronik. Terlebih selepas kematian artis Sukma Ayu yang diduga akibat malpraktek. Kasus-kasus malpraktek seperti ini hanyalah sebagian kecil, -tanpa bermaksud mengabaikannya- jika saja kita mau melihat. Sudah berapa banyak tayangan di tv yang kita saksikan, dalam program-program semacam dompet amal. Begitu banyak penderita yang tidak mampu berobat ke dokter atau rumahsakit akibat ketidakmampuan menanggung beban biaya. Membiarkan "kesakitan" mereka adalah satu pilihan. Belum lagi rumahsakit-rumahsakit yang kini banting stir menjadi perjan. Alih-alih subsidi pemerintah yang berkurang dan upaya peningkatan pemberian layanan, semakin melambunglah biaya pengobatan. Rumahsakit menjelma bisnis kesehatan. Belum lagi jeratan industrio-medical complex. Menambah jauh gapaian akses kesehatan yang murah dan memadai.
Boleh jadi tindakan menteri kesehatan kabinet sby-jk, membebaskan biaya pelayanan tingkat III bagi keluarga miskin mendapat pujian. Program yang sama sebelumnya telah ada. Melalui JPS, keluarga miskin terbebas dari biaya pelayanan kesehatan. Walaupun terlihat sebagai pelayanan setengah hati. Bagaimana tidak, obat-obatan yang masuk dalam tanggungan JPS sangat terbatas, itupun kesemuanya berlabel generik. Belum lagi pelayanan yang diberikan di rumahsakit. Sangat berbelit dan birokratis, serta jasa yang diberikan kurang simpatik. Mungkin karena JPS, yang berarti pemasukan akan semakin kecil.
Tanpa maksud berburuk sangka, semoga saja program menteri kesehatan baru bukanlah hanya "show acting" belaka di kerja seratus hari pertamanya. Bagaimana tidak, dari mana dana yang akan digunakan untuk menanggung program itu? Sementara budget kesehatan di APBN hanya berkisaran dua persen saja?
Jika saja kematian yang disebabkan hanya karena ketidakmampuan mendapatkan layanan kesehatan dijadikan sebagai malpraktek, berapa banyak sudah kasus malpraktek itu kini?
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 8:18 PM |
|
|
|
Wednesday, November 10, 2004 |
Menyiram bunga |
Tubuh mereka tidak seberapa tinggi, hampir menyentuh tanah malah. Daunannya berbentuk kerucut. Mungkin mereka masih termasuk dalam rumpun rumputan liar. Kuntum-kuntum merekah pada matahari pukul delapan, berwarna merah dan jambon, yang kembali menguncup bila matahari siang. Saya menyebutnya mawar tanah -itu yang ibu katakan pada saya kecil dulu ketika pertama kali melihat rumpun bunga ini-, mungkin karena bentuk bunganya yang menyerupai mawar dan sebagian tubuh mereka menyentuh tanah.
Mereka, mawar tanah ini, menjadi penghias di tepian selokan depan rumah. Dan menjadi bagian rutinitas pagi saya beberapa hari terakhir. Menyapanya, memindahkan daunan kering gugur pohon mangga yang meninmpanya (bagian ini dulu menjadi rutinitas ma' -panggilan buat ibu mertua kakak saya- yang saat ini sudah lebih dahulu mudik bersama kakak). Menyirami, memastikan semuanya tertimpa air. Saya menyirami mereka dengan sangat hati-hati, itu karena air yang digunakan bukan air pam (musim kemarau seperti ini, air pam mengalir di waktu tertentu saja, lebih sering malam hari) ataupun sumur. Tapi air selokan, tepat di sisi mereka. Harus hati-hati, agar lumpur selokan tidak mengenai mereka.
Walau hanya dengan air selokan, yang notabene adalah hasil limbah, mereka tetap tumbuh dengan subur. Kuntum-kuntumnya merekah semarak.
Sangat jauh dibanding dengan hati ini, yang semakin membenam dalam lumpur.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 10:25 PM |
|
|
|
Tuesday, November 09, 2004 |
Menunggu hujan |
Lekukan-lekukan tiada putus membentuk lukisan awan, dengan barisan huruf mengikut di bawahnya, dalam layar kaca empatbelas inchi. Itulah prakiraan cuaca kotaku hari ini.
Kini, ketika bayang tubuh memanjang ke timur, tengadah kepala menjumpai langit biru dan sapuan tipis awan putih.
Sekejap, membayang gayutan awan kelabu, entah di timur, di utara atau mungkin di selatan, di barat. Gayutan awan kelabu yang menjelma rintik air. Menyalami ranting dedaun, mengalirkan butiran debu. Menyalami tanah merah kering, lekas menebar aroma tanah. Rintik yang meresap bumi, dalam perjalanan panjang. Rintik deras yang menghablur bising jalanan.
Rintik yang menghilang perlahan, meninggalkan butiran bening dipucuk dedaun, selepasnya. Jatuh satu-satu, pelan.
Dan binar pelangi menghias tepian langit.
Rabb, atas segala kasih sayang dan kuasaMu, maukah Engkau?
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 1:14 PM |
|
|
|
Monday, November 08, 2004 |
Seperti apa senja |
Seperti apa senja yang kau rasakan?
Kau pernah katakan; kedamaian, ketenangan menyelusup dalam jiwamu ketika mata tak perlu memicing menatap bulatan merah raksasa, dan hamparan laut tenang berwarna keperakan.
Mereka juga pernah bercerita; sapuan jingga di langit, hembusan perlahan angin membawa romansa yang memabukkan.
Dan ia pernah berucap, lirih; sedih, menyelinap ketika bola merah raksasa menghilang di kaki langit, dan kelam mengganti jingga.
Dan saya, menatap bulatan merah raksasa tanpa memicing mata, memandang lautan tenang keperakan, tak satupun kedamaian dan ketenangan yang kutemukan.
Dan saya, meraba langitan jingga, membaui hembusan angin perlahan, tak satupun romansa yang kutemukan.
Ketika tersadar, di pundak terbeban sepikul kepedihan, berkeping luka.
Dan saya, berucap lirih; seperti apa senja yang kau hadirkan?
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 8:05 PM |
|
|
|
|
|