Wednesday, November 10, 2004 |
Menyiram bunga |
Tubuh mereka tidak seberapa tinggi, hampir menyentuh tanah malah. Daunannya berbentuk kerucut. Mungkin mereka masih termasuk dalam rumpun rumputan liar. Kuntum-kuntum merekah pada matahari pukul delapan, berwarna merah dan jambon, yang kembali menguncup bila matahari siang. Saya menyebutnya mawar tanah -itu yang ibu katakan pada saya kecil dulu ketika pertama kali melihat rumpun bunga ini-, mungkin karena bentuk bunganya yang menyerupai mawar dan sebagian tubuh mereka menyentuh tanah.
Mereka, mawar tanah ini, menjadi penghias di tepian selokan depan rumah. Dan menjadi bagian rutinitas pagi saya beberapa hari terakhir. Menyapanya, memindahkan daunan kering gugur pohon mangga yang meninmpanya (bagian ini dulu menjadi rutinitas ma' -panggilan buat ibu mertua kakak saya- yang saat ini sudah lebih dahulu mudik bersama kakak). Menyirami, memastikan semuanya tertimpa air. Saya menyirami mereka dengan sangat hati-hati, itu karena air yang digunakan bukan air pam (musim kemarau seperti ini, air pam mengalir di waktu tertentu saja, lebih sering malam hari) ataupun sumur. Tapi air selokan, tepat di sisi mereka. Harus hati-hati, agar lumpur selokan tidak mengenai mereka.
Walau hanya dengan air selokan, yang notabene adalah hasil limbah, mereka tetap tumbuh dengan subur. Kuntum-kuntumnya merekah semarak.
Sangat jauh dibanding dengan hati ini, yang semakin membenam dalam lumpur.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 10:25 PM |
|
|
|
|
|