Tuesday, September 21, 2004 |
Semangkok kapurung dan sepotong cerita 'reality drama' |
Dua perempuan berseragam kantor itu mengambil tempat tepat di hadapan saya. Bergabung dalam satu meja. Sontak, aktifitas menyantap semangkok kapurung terhenti sesaat. Menyantap kapurung menjadi pilihan saya mengatasi rasa jenuh beberapa hari ini. Mengambil tempat di luar, di bawah lindungan teduh pohon dan angin yang berhembus bebas, memberi saya keleluasaan menyantap kapurung secara lamban dan melayangkan pandangan ke jalanan. Walau tentu dengan sedikit resiko, jika angin berhembus kencang, debu akan beterbangan (kemarau mengakibatkan tanah merah menjadi kering, mudah terhambur beterbangan jika tertiup angin).
"Nenekku sudah pesan memang sama mamaku. Dia suruh mamaku jaga baik-baik saya, soalnya dia bilang surat nikahku nanti ada delapan," cerita perempuan yang lebih kurus. Seporsi kapurung sudah tersedia di hadapan mereka. Kalimat yang diucapkan perempuan tadi menyebabkan saya, tanpa sadar, memandang wajah perempuan tadi. Dan ia, merasa tidak terganggu sama sekali kalau perbincangan mereka akan terdengar oleh saya.
"Tapi kayaknya benar. Buktinya sekarang," lanjutnya. "Kau tau, ada pernah laki-laki yang saya kenal di KIMA datang ke rumahku mau lamar saya. Ibuku tanya sama itu laki-laki, darimana tau saya. Dia bilang kenal di jalan. Ibuku bilang sama dia kalau saya sudah nikah." Ia bercerita sambil tertawa.
"Tapi lebih baik kau rujuk saja," tanggap temannya, seperti tidak tertarik dengan cerita perempuan tadi.
"Ah, tidak. Sudah terlanjur jengkel. Apalagi sama mertuaku, dikira saya mau kawin sama anaknya gara-gara anaknya polisi? Tidaknya. Padahal itu suamiku seharusnya bersyukur. Saya tidak pernah minta gajinya, saya bisa bantu-bantu kakaknya biayai kuliah. Kalau dipikir, saya punya motor sendiri, rumah sendiri." Suara perempuan itu terdengar emosional.
"Terus, dengan temanmu itu yang sekarang?" tanya sahabatnya.
"Iya, tadinya dia sangka saya belum kawin. Dua minggu sesudah dia sering ke rumah baru saya kasih tau kalau saya sudah kawin. Dia marah-marah. Tapi sekarang tidak, dia suruh saya cepat cerai baru nikah dengan dia," ceritanya terhenti untuk melepas tawa. "Tapi saya tidak mau. Masa' saya mau kawin sama orang yang sama pekerjaannya dengan suamiku, baru pangkatnya sama lagi. Mending kalau lebih tinggi. Apa nanti yang dicerita sama keluarganya suamiku." Sekali lagi ia tertawa.
Semangkok kapurung di hadapan saya sudah habis. Tidak ada alasan untuk "mendengar" lebih lanjut cerita perempuan itu. Bergegas meninggalkan keduanya.
Upsss, delapan surat nikah? wow... bahagia...???
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 7:05 PM |
|
|
|
|
|