Thursday, September 30, 2004 |
Pertemuan #1 |
Kita hanya bisa diam kala itu. Bersedih bukanlah satu pilihan. Seragam dan aturan-aturan itu, mengalahkan kita, telak. Sempat kalian keluhkan, betapa itu membatasi pertemuan kita. Pertemuan di kota yang masih asing bagi kalian, dan saya.
Entah apa yang ada dalam kepala mereka. Kepala-kepala pembuat doktrin itu. Jika saja semboyan-semboyan "pengayom masyarakat, sahabat masyarakat" itu benar adanya, seharusnya doktrin itu salah adanya. Dengan logika dangkalku, bagaimana mungkin bisa menjadi sahabat masyarakat, jika doktrin itu membatasi kalian untuk dekat dengan mereka. Sungguh, dengan aturan itu, mustahil bagi kalian untuk menikmati suguhan pinggiran jalan. Pun dengan "tunggangan", terbilang berbeda dibanding yang digunakan orang kebanyakan. Ah, itu hanyalah logika dangkalku. Tentu mereka, kepala-kepala pembuat doktrin tersebut memiliki segudang alasan untuk itu. Walau bagiku, itu sungguh terlihat arogan.
Dan kini, berdiri berdampingan dengan kalian, terasa tidak begitu nyaman bagi saya (walau mungkin bagi sebagian, terasa begitu membanggakan). Mungkin karena sifat antipati saya? Ya. Apakah kalian sempat menyaksikan aksi penyerangan itu? yang menjadi headline di beberapa media. Terlalu sulit untuk melukiskannya. Begitu memuakkan.
Sanggahanmu benar. Seharusnya saya tidak menilai secara menyeluruh, secara institusi. Tapi orang-perorang, secara pribadi. Semoga kalian tetap seperti adanya, sahabat-sahabat saya seperti dahulu. Tapi, kalian berbeda dengan mereka bukan?
Sayang, pertemuan pertama kita, di kota yang asing bagi kita, hanya bisa berputar-putar dari satu lantai ke lantai lainnya. Memandangi pajangan di balik etalase. Menjemukan. Dan lihat, kalian dan teman-teman kalian, dengan seragam itu, terlihat seperti kunang-kunang. Ya, kunang-kunang. Tampil menarik, mencolok di kelam malam. Hahaha... tapi itu mungkin hanya bagi saya. Kota ini, dan juga isinya, tentulah sudah terbiasa dengan kalian bukan? Sudah berapa lama ya?
Kalian tahu, sebelum kita bertemu, dalam kepalaku sudah tersusun beberapa rencana yang mungkin akan menarik bagi kita (tentunya saya tidak mengetahui jika kalian terbatasi oleh seragam dan aturan-aturan itu). Angkringan di depan masjid, terlihat selalu ramai. Menarik untuk dicoba, lalu mengelilingi simpang lima selepas maghrib. Sangat ramai, terkesan begitu bersahabat. Duduk lesehan, pastilah menyenangkan. Ingin kutunjukkan pula kali kecil dengan perahu penyeberangannya. Tidak lebih lebar dibanding dengan kanal di samping masjid al marqaz, dengan air berwarna coklat tanah mengalir pelan. Disitu, kalian kan melihat perempuan-perempuan di usia senja, begitu bersemangat menjaring rezqi. Dan jika perbendaharaan kosakata jawa kalian sudah cukup, tentulah kalian kan mengetahui dialog penambang perahu dan temannya. Tidak jauh dari kali kecil itu, setelah melalui setapak kecil menanjak, tepat di bawah tebing kapur di seberang jalan, kalian kan menemui sebuah bilik. Tidak lebih luas dibanding kamar tiga kali tiga yang biasa kita tempati tetirahan selepas kuliah (tempat dimana kita biasa berbagi mimpi-mimpi kita). Hanya saja bilik itu lebih gelap, dengan dipan yang menjadi satu-satunya penghuni ruangan itu (awalnya, saya menyangka bilik itu sebuah warung kecil. Alih-alih ingin berteduh menunggu angkot, sekilas saya melihat ke dalamnya). Dan kau tahu, di dinding bilik itu dipenuhi tempelan karton manila dengan deretan empat angka. Nomor togel. Pemimpi rupanya. Seperti kita, mungkin. Seperti kalian, berada di kota ini, dengan seragam dan aturan itu, bagian dari usaha untuk mencapai mimpi yang biasa kita ceritakan di kamar tiga kali tiga. Dan saya, di sini, masih mencari mimpi-mimpi itu. Doakan ya.
Semoga saja, pertemuan kita berikutnya di penghujung tahun ini, lebih menyenangkan. Jauh dibanding saat ini, terbatasi seragam dan aturan-aturan yang bagi saya, terlihat bodoh itu hahaha...
semarang, selepas pilpres I
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 8:22 AM |
|
|
|
|
|