Sunday, December 09, 2007 |
Solitude |

Ia mengeluarkan beberapa foto berbingkai. Meletakkan di lantai tegak bersandar di dinding. Saya mengambil posisi seeza untuk menikmati hasil fotonya dengan lebih baik. Satu persatu ia jelaskan. Di foto terakhir, saya mengamatinya lebih lama. Foto yang sederhana dan indah. Dua buah bangunan kecil berdampingan, berbentuk seperti rumah (mungkin semacam tempat berdoa) di antara pepohonan dengan daun-daun berwarna kuning dan gugur menutupi tanah. Tersisa sedikit saja hijau rumput diterangi berkas sinar matahari pagi yang menembus di sela-sela pepohonan, hasilkan bebayang pepohonan dan dua bangunan rumah itu. “Kau menyukainya?” tanyanya. “Ya, sangat detil. Daun-daun yang gugur di tanah dan atap bangunan terlihat jelas. Saya suka dengan berkas matahari yang menerobos di antara pepohonan dan hasilkan bebayang yang membagi bidang gelap terangnya,” jawabku memberi sedikit alasan. Ia tersenyum. “Senyap. Dua bangunan ini dan daun-daun yang gugur menutupi tanah memberi kesan dingin. Tapi berkas cahaya matahari paginya memberi rasa hangat.” Ia masih tersenyum. “Saya suka dengan mood dari foto ini,” lanjutku lagi. “Kau mau tahu judul foto ini?” tanyanya yang kubalas dengan anggukan kepala. “Solitude.” Ia kembali tersenyum. **** Teringat saya pada saat pertama kali bertemu dengannya. Kedudukannya sebagai direktur RS tempat saya pelatihan, tentu mengharuskan saya menghadapnya untuk memperkenalkan diri. Di akhir perkenalan, ia menawarkan telepon genggam untuk dapat saya pakai. Dengan halus saya menolak. Alasan satu telepon sudah cukup bagi kami berdua (seorang teman saya sudah berada di sini sebulan lebih awal sebelum saya datang). “Satu waktu kau perlu menyendiri. Dan jika ada sesuatu yang tiba-tiba, kau dapat dihubungi dengan mudah,” ujarnya. Kembali saya menolaknya halus. “Kau yakin?” “Ya.” **** “Kalau kau mau, kau dapat membawa pulang foto itu!” ucapnya kepada saya yang masih menikmati foto berjudul solitude itu. “Sungguh?” “Ya, saya masih dapat mencetaknya lagi kalau mau. Di tempat itu,” ucapnya sambil menunjuk ruangan yang ia jadikan kamar gelap. “Tunggu sebentar, saya akan membungkus foto ini.” Ia berlalu menuju ruang lain dengan foto tersebut.
Solitude. Saya yakin tiap orang memerlukan waktu untuk menyendiri. Tapi jika terlalu sering pasti aneh adanya. Dan saya seperti itu. Upss, sudah perlu konsul psikiater mungkin. Ahh… entahlah…
--------------------------- cat. *) seeza : posisi duduk ala jepang, seperti duduk di antara dua sujud waktu shalat. sumpah, kalau sampai tigapuluh menit masih bisa tahan. tapi lebih dari itu, oo.. mak, kaki sudah super kesemutan. enakan bersila dengan satu kaki ditekuk. secara makassar gitu lho :D *) makasih buat kuroda sensei untuk foto solitude nya. luv it.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 7:26 PM |
|
|
|
|
|