___NyanYiaN PeRjaLanaN___
Saturday, December 08, 2007
Orang-orang di titik nol;
di satu segiempat bernama karebosi

Di satu tulisan pernah kubaca tentang alun-alun. Tempat hiburan tanpa perlu merogoh kocek sedikitpun, paling realistis dijangkau oleh mereka dengan tingkat ekonomi pas-pasan. Tak pelak, stigma alun-alun sebagai tempat hiburan kelas bawah terbentuk. Orang-orang datang, sarat dengan beban hidup dan letih selepas kerja seharian, coba hibur diri di tempat ini.
Dan kita mencoba belajar memahami hidup dari sisi yang berbeda dari tempat ini.

Lapangan karebosi, dapat dikatakan sebagai alun-alun di kotaku. Walau jika merujuk pada alun-alun yang sebenarnya (alun-alun; -jawa) tentu berbeda. Pola alun-alun di pulau jawa hampir seragam, terletak di depan pendopo (rumah jabatan bupati), dan mesjid terletak di sisi barat. Membaca pola ini, mungkin terselip harapan agar pemimpin lebih dekat dan mengetahui rakyatnya. Sedangkan karebosi lapangan persegi empat, dengan menempatkan podium di sisi utaranya sebagai tempat keperluan upacara. Bila dilihat dari fungsinya saat ini, semuanya sama. Tempat hiburan kelas rakyat.


Tak sedikit kenangan saya akan karebosi, landmark kota makassar. Di mana titik nol berawal di tempat ini. Pertama kali melintas di tepian karebosi kecil dahulu, takjub saya dibuatnya. Begitu luas, jauh dibandingkan dengan lapangan agung (begitu kami menyebutnya) yang ada di kotaku, pulau kecil di ujung selatan. Hanya seukuran lapangan sepak bola. Usia SMA, untuk pertama kalinya saya betul-betul menjejakkan kaki di karebosi. Gladi resik senam massal yang melibatkan banyak sekolah. Posisi kami sekelas tepat berada di samping "kuburan" itu. Sebuah 'peringatan' pun terdengar, jangan bicara kotor. Selepas prosesi yang membosankan ini, kami harus berputar untuk kembali ke sekolah, menghindari tawuran.
Sekali juga saya pernah merasakan bagaimana kagetnya dicolek waria ketika melintas di sisi barat karebosi malam hari bersama seorang teman. Sontak kami berlari hingga ke ujung jalan kartini. Takut, apalagi sebelumnya sudah sering mendengar waria karebosi yang tiba-tiba bisa menjadi sangat "seram'.

Sore hari di sembilanbelas september duaribu enam, itu mungkin kali terakhir saya menjejakkan kaki di karebosi. Selebihnya hanya melintas di tepian jalan protokolnya. Menengok sesaat keramaian yang ada di dalamnya; dari riuh teriakan suporter yang menonton PSM berlatih, lelarian bocah diantara debu beterbangan akibat kaki-kaki mereka yang menyepak bola di tanah merah kering, hingga terakhir warnawarni gemerlap lampu-lampu lampion dari istana kertas negeri kurcaci.
Sore hari di pertengahan september. Memarkir motor di tempat yang sudah hampir terisi penuh di sudut karebosi di depan MTC -pertimbangan keamanan dan tidak mengganggu kenyamanan pengguna karebosi- saya tersadar tempat ini tidak memiliki lahan parkir yang memadai bagi pengunjungnya. Bahu jalan kartini akan menyempit dipenuhi parkir mobil dan motor para supporter ketika menonton PSM berlatih.
Sore hari di september duaribuenam. Berbekal kamera, saya ingin mengabadikan orang-orang di titik nol, satu segi empat bernama karebosi. Belajar melihat dan memahami hidup dari sisi yang berbeda. Membingkainya dalam format digital. menengok di sisi luar karebosi, tepian jalan ahmad yani. Temukan lelaki dengan baju kumal, wajah tertutup duduk bersila terpekur. Diam seperti patung. Gangguan mental mungkin jawabnya. Mengapa harus menggelandang? tidak adakah keluarganya? aib kah? pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala. Rehabilitasi RSJ tentu jauh lebih baik. Tak jauh darinya, di sisi yang berlawanan, seorang tua duduk berharap belas kasih.


Kembali ke dalam karebosi, bertemu dengan persahabatan tiga bocah; ketiganya tidak dapat baca tulis. Dari perkakas yang mereka bawa tahulah saya dengan kerja mereka. Mungkin letih selepas berjalan seharian, ke karebosi lah mereka untuk mendapat sekedar hiburan.


Tentunya celoteh tukang obat ditambah dengan bumbu atraksinya menjadi tontonan menarik. Menghibur walau lebih banyak yang tak dapat dipercaya. Seperti sesumbar para jurkam dan kandidat menjelang pemilu atau pilkada.


Di satu sudut, minuman dingin tentu banyak dicari sebagai pelepas dahaga setelah cairan tubuh banyak berkurang akibat berlari mengejar bola. Setia menjualnya walau laba tak seberapa.


Alasan ekonomi, membantu orangtua, sering terucap dari pekerja anak putus sekolah. Toh bermain dan keriangan tidak harus hilang. Dan coba temukan itu di karebosi.


Mereka, orang-orang itu, yang senantiasa menghiasi hari-hari karebosi. Yang memberi nafas karebosi. Tentu jauh lebih banyak memiliki kenangan tentang karebosi dibanding saya. Mereka, bagian dari karebosi yang harus tercerabut, terpinggirkan. Entah berapa banyak mata rantai hidup yang terputus ketika dinding-dinding seng itu terpasang.
Lalu makhluk bernama Mall itu kian menggiring naluri menjangkau hiburan murah pada ketidaknyataan, semu.
Saya mendukung rehabilitasi karebosi. Biar rerumputannya tetap hijau, nyaman dipakai tetirahan menikmati senja di antara celoteh riang bocah-bocah. Tidak tergenang di kala musim penghujan dan berdebu ketika kemarau tiba. Bangku-bangku taman dan rerindang pohon di sepanjang tepian karebosi tentu jauh lebih nyaman untuk berteduh sejenak di siang yang panas. Jalur pejalan kaki atau sekedar jogging yang lapang tanpa terganggu parkir motor serampangan akan semakin memacu semangat menjaga kebugaran tubuh. Bidang-bidangnya tertata rapi -tidak semrawut seperti sekarang ini- dengan lampu-lampu yang menerangi tiap-tiap sudutnya kala malam, biar terhindar dari praktek mesum yang selama ini mendompleng nama besar karebosi.
Dan saya mendukung revitalisasi orang-orang di karebosi. Mereka yang coba bertahan, melanjutkan mata rantai hidupnya dari karebosi. Bukan justru membunuhnya.

Revitalisasi karebosi, aneh saja mendengarnya. Seperti seorang top model yang mati-matian menjaga bentuk tubuhnya, biar tetap terpakai, biar menghasilkan pundi-pundi uang yang lebih banyak. Tapi terlupa akan rohani nya.

Dinding-dinding seng sudah terpasang. Dan orang-orang masih ribut mempertentangkannya. Dengan segala kepentingan yang membawanya. Adakah yang mempertanyakan, kemana perginya mereka -yang memberi nafas karebosi- itu?
Ataukah jawabannya sama ketika ku tanyakan kepada seorang sahabat, kemana perginya kunang-kunang di siang hari? it's natural. Ah...

*) makassar in my mind. as far as my eyes can see. just see d'live from another perspective.
19 september 2006 dimulai dari 16:38:33
panasonic lumix fz 30

posted by adhip @ dalam hening kata, kala 1:23 PM  
|
 
IntRo
selalu periksa keadaan batinmu
menggunakan Sang Raja dari hatimu
tembaga tidak pernah mengetahui dirinya tembaga
sebelum berubah menjadi emas
Matsnawi, Jallaluddin Rumi

DiRi
adhi/M/'79
-makassar-
menulis dan membingkai
pemimpi yang ingin mengenal tanah airnya lebih jauh
BaRugA MaKaSsaR

antarnisti
aes el barca
apiss
ardin
asri tadda
asrulsyam
batangase
blueveil
cikal61
Dg. Nuntung
dj di melbourne
essoweni
ichal
ichal di nangroe aceh darussalam
Ifool
imran
Irha
KotakJimpe
LelakiSenja
leo
mamie
nani
ntan
nyomnyom
Ocha
PasarCidu
Prof Mus
psycho-poet
pecandu buku
PuteE
RaRa
sukab
TalluRoda
TerbangBebas
Tri-Multiply
uchie


JenDeLa SapA

JenDeLa SaHabaT
i suppoRt
CataTaN SiLaM
KoTaK SiLaM
SeNanduNg
KeluArgA MayA
banner angingmammiri
BlogFam Community
BeruCaP TeRimaKasiH

Allah Maha Kuasa, pemberi hidup.
Ichal yang pertama kali memperkenalkanku pada dunia blog dan juga support plus kompienya yang siap diacak-acak,
BloggerCom buat layanan jasa gratisnya,
Isnaini.Com, buat script leotnya,
photobucket buat tempat menyimpan gambar dan foto,
dan juga karibku hitam abu - aswad - loboh yang senantiasa bersedia menjadi mata visual keduaku.

Affiliates
15n41n1