Wednesday, December 26, 2007 |
Selepas bencana itu |

selepas bencana itu tekateki semesta tak berujung untuk segala tanya yang coba reka jawabnya padaMu hidup. padaMu mati. membaca pertanda dan ayatayatMu masih saja ku angkuh pongah di hadapMu
mengenang tsunami di penghujung tahun duaribuempat

|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 10:53 PM |
|
|
|
Tuesday, December 25, 2007 |
Happy Mother's daY |

segala kasih sayang yang pernah kau berikan takkan sanggup terbalas dengan satu hari kuucapkan sayang padamu. takkan pernah bisa. teruntukmu, perempuan di paruh senja, yang senantiasa berharap kabar di ujung sana. untuk segala doa kebaikan yang mengangkasa pada pintu-pintu langit sepanjang pagi malam. maaf. jika ku jauh dari harapmu. selamat hari ibu. (bukanku latah, tapi sepatutnya cinta dan sayang itu milikmu abadi adanya. sepanjang masa. dan bodohnya aku, masih saja sulit kutemukan cara untuk ungkapnya)
catcil : duapuluhdua desember, dijadikan sebagai hari ibu. jika menilik sejarahnya, lebih cocok jika dijadikan sebagai hari emansipasi wanita, karena pada hari itu berlangsung kongres wanita pertama di indonesia :p untuk kasih sayang seorang ibu, takkan terbalas dalam sehari ^_*

|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 10:33 AM |
|
|
|
Tuesday, December 18, 2007 |
Nyampah |
Lama tidak posting, lama tidak update blog. Bukan karena saya tidak terhubung dengan internet, seperti alasan saya yang lau-lalu jika jarang me refresh halaman ini. Beberapa hari terakhir, saya lebih tertarik nyampah di forum sampah. Saya katakan forum sampah karena sebagian besar isi postingannya sampah dan hanya tersisa sedikit saja yang mungkin tidak termasuk golongan sampah. Bahasa yang digunakan dalam forum ini betul-betul hancur, dan bagi yang tidak siap masuk ke dalamnya, sebaiknya dihindari saja :p Isinya lebih banyak menghujatnya, provakasi sampai menyinggung masalah SARA. Jujur saja, waktu pertama liat forum ini sempat ikutan panas, lama kelamaan di bawa santai saja dan terkadang malah bikin fresh juga, senyum-senyum liat balas-balasan postingan dari dua kubu forum. Dan dari forum ini pula saya terangsang untuk mengetahui fakta dari ke dua negara. Setidaknya saya harus mempunyai data ketika posting di forum, -biar tidak terlihat bodoh saja lah. Semakin banyak yang saya tahu mengenai politik di negeri jiran kita ini, juga masalah rasist yang kian marak kini. Dan saya juga tersadar, -setelah lompat kiri-kanan di tiap-tiap halaman maya dengan bantuan om google- negeri kita pun mengalami ancaman yang sama. Perpecahan yang diakibatkan masalah etnis atau suku dan agama. Yang siap meledak satu waktu. Tapi saya kan tetap berdoa, semoga dijauhi kita dari perpecahan ini.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 9:08 PM |
|
|
|
Sunday, December 09, 2007 |
Solitude |

Ia mengeluarkan beberapa foto berbingkai. Meletakkan di lantai tegak bersandar di dinding. Saya mengambil posisi seeza untuk menikmati hasil fotonya dengan lebih baik. Satu persatu ia jelaskan. Di foto terakhir, saya mengamatinya lebih lama. Foto yang sederhana dan indah. Dua buah bangunan kecil berdampingan, berbentuk seperti rumah (mungkin semacam tempat berdoa) di antara pepohonan dengan daun-daun berwarna kuning dan gugur menutupi tanah. Tersisa sedikit saja hijau rumput diterangi berkas sinar matahari pagi yang menembus di sela-sela pepohonan, hasilkan bebayang pepohonan dan dua bangunan rumah itu. “Kau menyukainya?” tanyanya. “Ya, sangat detil. Daun-daun yang gugur di tanah dan atap bangunan terlihat jelas. Saya suka dengan berkas matahari yang menerobos di antara pepohonan dan hasilkan bebayang yang membagi bidang gelap terangnya,” jawabku memberi sedikit alasan. Ia tersenyum. “Senyap. Dua bangunan ini dan daun-daun yang gugur menutupi tanah memberi kesan dingin. Tapi berkas cahaya matahari paginya memberi rasa hangat.” Ia masih tersenyum. “Saya suka dengan mood dari foto ini,” lanjutku lagi. “Kau mau tahu judul foto ini?” tanyanya yang kubalas dengan anggukan kepala. “Solitude.” Ia kembali tersenyum. **** Teringat saya pada saat pertama kali bertemu dengannya. Kedudukannya sebagai direktur RS tempat saya pelatihan, tentu mengharuskan saya menghadapnya untuk memperkenalkan diri. Di akhir perkenalan, ia menawarkan telepon genggam untuk dapat saya pakai. Dengan halus saya menolak. Alasan satu telepon sudah cukup bagi kami berdua (seorang teman saya sudah berada di sini sebulan lebih awal sebelum saya datang). “Satu waktu kau perlu menyendiri. Dan jika ada sesuatu yang tiba-tiba, kau dapat dihubungi dengan mudah,” ujarnya. Kembali saya menolaknya halus. “Kau yakin?” “Ya.” **** “Kalau kau mau, kau dapat membawa pulang foto itu!” ucapnya kepada saya yang masih menikmati foto berjudul solitude itu. “Sungguh?” “Ya, saya masih dapat mencetaknya lagi kalau mau. Di tempat itu,” ucapnya sambil menunjuk ruangan yang ia jadikan kamar gelap. “Tunggu sebentar, saya akan membungkus foto ini.” Ia berlalu menuju ruang lain dengan foto tersebut.
Solitude. Saya yakin tiap orang memerlukan waktu untuk menyendiri. Tapi jika terlalu sering pasti aneh adanya. Dan saya seperti itu. Upss, sudah perlu konsul psikiater mungkin. Ahh… entahlah…
--------------------------- cat. *) seeza : posisi duduk ala jepang, seperti duduk di antara dua sujud waktu shalat. sumpah, kalau sampai tigapuluh menit masih bisa tahan. tapi lebih dari itu, oo.. mak, kaki sudah super kesemutan. enakan bersila dengan satu kaki ditekuk. secara makassar gitu lho :D *) makasih buat kuroda sensei untuk foto solitude nya. luv it.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 7:26 PM |
|
|
|
Saturday, December 08, 2007 |
Orang-orang di titik nol; di satu segiempat bernama karebosi |
Di satu tulisan pernah kubaca tentang alun-alun. Tempat hiburan tanpa perlu merogoh kocek sedikitpun, paling realistis dijangkau oleh mereka dengan tingkat ekonomi pas-pasan. Tak pelak, stigma alun-alun sebagai tempat hiburan kelas bawah terbentuk. Orang-orang datang, sarat dengan beban hidup dan letih selepas kerja seharian, coba hibur diri di tempat ini. Dan kita mencoba belajar memahami hidup dari sisi yang berbeda dari tempat ini.
Lapangan karebosi, dapat dikatakan sebagai alun-alun di kotaku. Walau jika merujuk pada alun-alun yang sebenarnya (alun-alun; -jawa) tentu berbeda. Pola alun-alun di pulau jawa hampir seragam, terletak di depan pendopo (rumah jabatan bupati), dan mesjid terletak di sisi barat. Membaca pola ini, mungkin terselip harapan agar pemimpin lebih dekat dan mengetahui rakyatnya. Sedangkan karebosi lapangan persegi empat, dengan menempatkan podium di sisi utaranya sebagai tempat keperluan upacara. Bila dilihat dari fungsinya saat ini, semuanya sama. Tempat hiburan kelas rakyat.
 Tak sedikit kenangan saya akan karebosi, landmark kota makassar. Di mana titik nol berawal di tempat ini. Pertama kali melintas di tepian karebosi kecil dahulu, takjub saya dibuatnya. Begitu luas, jauh dibandingkan dengan lapangan agung (begitu kami menyebutnya) yang ada di kotaku, pulau kecil di ujung selatan. Hanya seukuran lapangan sepak bola. Usia SMA, untuk pertama kalinya saya betul-betul menjejakkan kaki di karebosi. Gladi resik senam massal yang melibatkan banyak sekolah. Posisi kami sekelas tepat berada di samping "kuburan" itu. Sebuah 'peringatan' pun terdengar, jangan bicara kotor. Selepas prosesi yang membosankan ini, kami harus berputar untuk kembali ke sekolah, menghindari tawuran. Sekali juga saya pernah merasakan bagaimana kagetnya dicolek waria ketika melintas di sisi barat karebosi malam hari bersama seorang teman. Sontak kami berlari hingga ke ujung jalan kartini. Takut, apalagi sebelumnya sudah sering mendengar waria karebosi yang tiba-tiba bisa menjadi sangat "seram'.
Sore hari di sembilanbelas september duaribu enam, itu mungkin kali terakhir saya menjejakkan kaki di karebosi. Selebihnya hanya melintas di tepian jalan protokolnya. Menengok sesaat keramaian yang ada di dalamnya; dari riuh teriakan suporter yang menonton PSM berlatih, lelarian bocah diantara debu beterbangan akibat kaki-kaki mereka yang menyepak bola di tanah merah kering, hingga terakhir warnawarni gemerlap lampu-lampu lampion dari istana kertas negeri kurcaci. Sore hari di pertengahan september. Memarkir motor di tempat yang sudah hampir terisi penuh di sudut karebosi di depan MTC -pertimbangan keamanan dan tidak mengganggu kenyamanan pengguna karebosi- saya tersadar tempat ini tidak memiliki lahan parkir yang memadai bagi pengunjungnya. Bahu jalan kartini akan menyempit dipenuhi parkir mobil dan motor para supporter ketika menonton PSM berlatih. Sore hari di september duaribuenam. Berbekal kamera, saya ingin mengabadikan orang-orang di titik nol, satu segi empat bernama karebosi. Belajar melihat dan memahami hidup dari sisi yang berbeda. Membingkainya dalam format digital. menengok di sisi luar karebosi, tepian jalan ahmad yani. Temukan lelaki dengan baju kumal, wajah tertutup duduk bersila terpekur. Diam seperti patung. Gangguan mental mungkin jawabnya. Mengapa harus menggelandang? tidak adakah keluarganya? aib kah? pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala. Rehabilitasi RSJ tentu jauh lebih baik. Tak jauh darinya, di sisi yang berlawanan, seorang tua duduk berharap belas kasih.

Kembali ke dalam karebosi, bertemu dengan persahabatan tiga bocah; ketiganya tidak dapat baca tulis. Dari perkakas yang mereka bawa tahulah saya dengan kerja mereka. Mungkin letih selepas berjalan seharian, ke karebosi lah mereka untuk mendapat sekedar hiburan.

Tentunya celoteh tukang obat ditambah dengan bumbu atraksinya menjadi tontonan menarik. Menghibur walau lebih banyak yang tak dapat dipercaya. Seperti sesumbar para jurkam dan kandidat menjelang pemilu atau pilkada.

Di satu sudut, minuman dingin tentu banyak dicari sebagai pelepas dahaga setelah cairan tubuh banyak berkurang akibat berlari mengejar bola. Setia menjualnya walau laba tak seberapa.

Alasan ekonomi, membantu orangtua, sering terucap dari pekerja anak putus sekolah. Toh bermain dan keriangan tidak harus hilang. Dan coba temukan itu di karebosi.

Mereka, orang-orang itu, yang senantiasa menghiasi hari-hari karebosi. Yang memberi nafas karebosi. Tentu jauh lebih banyak memiliki kenangan tentang karebosi dibanding saya. Mereka, bagian dari karebosi yang harus tercerabut, terpinggirkan. Entah berapa banyak mata rantai hidup yang terputus ketika dinding-dinding seng itu terpasang. Lalu makhluk bernama Mall itu kian menggiring naluri menjangkau hiburan murah pada ketidaknyataan, semu. Saya mendukung rehabilitasi karebosi. Biar rerumputannya tetap hijau, nyaman dipakai tetirahan menikmati senja di antara celoteh riang bocah-bocah. Tidak tergenang di kala musim penghujan dan berdebu ketika kemarau tiba. Bangku-bangku taman dan rerindang pohon di sepanjang tepian karebosi tentu jauh lebih nyaman untuk berteduh sejenak di siang yang panas. Jalur pejalan kaki atau sekedar jogging yang lapang tanpa terganggu parkir motor serampangan akan semakin memacu semangat menjaga kebugaran tubuh. Bidang-bidangnya tertata rapi -tidak semrawut seperti sekarang ini- dengan lampu-lampu yang menerangi tiap-tiap sudutnya kala malam, biar terhindar dari praktek mesum yang selama ini mendompleng nama besar karebosi. Dan saya mendukung revitalisasi orang-orang di karebosi. Mereka yang coba bertahan, melanjutkan mata rantai hidupnya dari karebosi. Bukan justru membunuhnya.
Revitalisasi karebosi, aneh saja mendengarnya. Seperti seorang top model yang mati-matian menjaga bentuk tubuhnya, biar tetap terpakai, biar menghasilkan pundi-pundi uang yang lebih banyak. Tapi terlupa akan rohani nya.
Dinding-dinding seng sudah terpasang. Dan orang-orang masih ribut mempertentangkannya. Dengan segala kepentingan yang membawanya. Adakah yang mempertanyakan, kemana perginya mereka -yang memberi nafas karebosi- itu? Ataukah jawabannya sama ketika ku tanyakan kepada seorang sahabat, kemana perginya kunang-kunang di siang hari? it's natural. Ah...
*) makassar in my mind. as far as my eyes can see. just see d'live from another perspective. 19 september 2006 dimulai dari 16:38:33 panasonic lumix fz 30
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 1:23 PM |
|
|
|
Thursday, December 06, 2007 |
[Jangan] menjadi ranting daun yang terhempas |
judul : warik band : Last Few Minutes -LFM-
saat engkau datang dan berikan setumpuk harapan kala itu membuat anganku terbang jauh melayang ku tak tahu akan makna apa tersirat di hati tak kuduga dengan begitu mudah kau berucap ada sesuatu yang menghalangi jalanku langkahku (yang pasti) tak inginku seperti ranting daun yang terhempas
kesalku jadinya saat kudengar jawaban itu inginku meronta namun kuakui kutak kuasa biarku melangkah dengan sisa batin yang terkulai tapi kuakui ingin kuwujudkan hasratku (setiap asa jiwa)
terkadang kubertanya masih adakah satu jawabannya yang dapat kau berikan tuk yakinkan diriku melangkah
---------------------------------------
Pertama kali dengar lagu ini, rilis di akhir tahun 95 -jika saya tidak salah mengingatnya- langsung jatuh cinta. Warik judulnya. Asing mendengar kata ini, yang ternyata diambil dari bahasa daerah di kalimantan. Sekali waktu sempat saksikan wawancara band ini di program musik salah satu tv swasta. Lagu ini bercerita tentang rasa kesal, jengkel dan amarah akan harapan yang tertahan/terhambat oleh seseorang dan ketidakberdayaan untuk melawan. Sempat punya kaset grup band ini, tapi sayang hilang. Beberapa kali coba mencari info band dan lagu dari LFM di om google, tapi hasilnya selalu nihil. Dan kemarin, kerinduan mendengar kembali lagu warik muncul kembali. Coba masukkan kata kunci judul lagu dan nama band di om google, sampailah saya ke halaman ini. Usai sudah kerinduan saya akan warik.
Teruntuk orang-orang di titik nol kilometer, di satu segi empat bernama karebosi.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 6:35 PM |
|
|
|
Monday, December 03, 2007 |
Masih jauh ku dari maaf |
Teringat saya akan bebaris kata-kata di halaman maya seorang sahabat, yang membekas kuat dalam memori.
Kata seorang pejalan; dunia itu betul-betul selebar daun kelor, sangat sempit. Seseorang yang kau temui hari ini niscaya akan bertemu lagi di tempat lain. Sehingga jangan pernah menyakiti orang lain, karena suatu hari pasti akan bertemu lagi. Dan pada saat itu, kita akan terbunuh, jika bukan oleh dendamnya maka oleh maafnya...
dan saya masih jauh dari kebaikan hati dan maaf itu.
=================== ps : chan, apa kabar kah? rindu membaca tulisanmu lagi
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 5:54 PM |
|
|
|
|
|