Friday, May 26, 2006 |
Kasih Tak sampai |
Ia memperbaiki letak duduknya, hingga pandangannya leluasa pada dua sosok yang bekejaran di antara pokok-pokok kembang, seperti sepasang kekasih kasmaran yang ia jumpai di film-film bollywood. “Sungguh, aku mencintaimu,” ujar si perayu lembut. “Gombal,” yang dirayu tersipu malu, salah tingkah lalu beranjak menuju kumpulan mawar. Harum melingkup keduanya. “Lautan pun kuseberangi, demi membuktikan cintaku.” “Dasar perayu. Mengelilingi taman ini saja kau harus berhenti berkali-kali.” “Oh belahan jiwaku, belahlah dadaku jika hanya itu yang mampu membuatmu percaya akan cintaku.” Perayu membelai lembut. “Hei… perlahanlah. Apa kau tidak malu pada lelaki di sudut taman? Sedari tadi ia mengawasi kita.” “Ia pasti dibakar api cemburu.” Ia tertawa. Menertawai imajinasi kata yang ia ciptakan. Kata-kata yang sering ia temui dalam roman picisan, menari di pikirannya yang tumpul, lalu melayang pada dua sosok, yang ia reka sebagai sepasang kekasih. Ia memperbaiki letak kacamatanya. Melanjutkan permainan kata-kata. “Kau lihat sepasang jompo di sudut taman? Kesetianku akan melampaui usia cinta mereka.” “Rayuanmu membuatku melayang.” Dan benar, tubuh ringannya melayang tinggi, meninggalkan kelopak-kelopak mawar, melayang ke jalanan luar taman. Tiada suara, tubuh rapuhnya membentur mobil yang melaju cepat. Sayapnya koyak. Tubuhnya terhempas di aspal jalanan. Sunyi. “Ah… kasihan.” Seketika imajinasi kata-katanya lenyap. Si perayu melayang balik ke taman. Di antara rerimbunan aster, satu kupu-kupu putih melayang gemulai. Elok.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 9:53 PM |
|
|
|
|
|