Thursday, February 19, 2004 |
Ia membuatku kagum |
Secara cepat penggalan-penggalan kenangan berputar mundur. Terhenti pada sebingkai memori yang tersimpan rapih dalam lekuk-lekuk otak. Sebingkai fragmen masa kanak-kanak di sebuah kota kecil, Luwuk Banggai.
Jam pulang sekolah. Beberapa teman berteriak riang, dengan tubuh membungkuk menangkap sesuatu di halaman rumput sekolah yang sudah beberapa hari tergenang air. “Lihat, saya dapat.” Teriak seorang teman girang. Ia mendekat, memperlihatkan tangkapannya yang berenang-renang di air dalam tangkupan kedua telapak tangannya. Ikan kecil berwarna hitam dengan bentuk yang lucu. Kepalanya besar membulat dengan badan dan ekor ramping memanjang. Kulitnya tidak bersisik, halus lembut seperti beludru. Segera saya melepas sepatu, bergabung. Berteriak riang dalam kecipak air yang mulai keruh.
Perjalanan pulang ke rumah. Saya bukan penangkap yang baik seperti teman lainnya. Hanya dua ekor yang berhasil berpindah tempat. Dari genangan air luas halaman sekolah, ke selingkup sempit bekas tempat sabun colek. Berjalan dengan hati-hati, mencegah airnya tumpah dan berkurang. Langkah terhenti ketika melintas rumah dan mendengar teriakan memanggil nama saya. Rumah dan suara yang sangat saya kenal, rasanya ingin segera berlalu dari situ. Gadis kecil berambut panjang dikuncir, dengan poni menutup dahinya. Bertelanjang kaki dan masih memakai seragam putih merah. Teman perempuan, hanya saja kami berbeda sekolah. Tepatnya, kami saling mengenal karena perkawanan kedua orangtua kami. Dan tidak tahu kenapa, saya selalu malu bertemu dengannya.
“Apa itu yang ada dalam bekas sabun?”
“Ikan. Tadi saya tangkap di sekolah,” jawabku bangga, mengalahkan rasa malu bertemu dengannya. Lalu, saya menuangkannya ke genangan air di sisi jalan. Kami jongkok, biar dapat mengamatinya lebih dekat.
“Itu bukan ikan,” teriaknya. “Itu kecebong.”
Saya bingung. “Apa itu?” tanya saya dengan mimik blo’on.
“Anak kodok. Nanti kalau besar akan ada kakinya, terus ekornya menghilang,” jelasnya dengan wajah sumringah. Saya hanya diam, terkagum-kagum mendengar penjelasannya.
“Itu kecebong,” teriaknya lagi sambil tertawa.
Ia membuat saya kagum dan semakin malu bila bertemu dengannya. Mungkin saja pipi saya bersemu merah saat itu. Yang jelas saya bergegas pulang, meninggalkan bekas tempat sabun colek yang tergeletak begitu saja dan dua kecebong dalam genangan air di tepi jalan.
*)buat dua kebongce.. eh, kecebong malang, maapin ane ye!
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 8:48 PM |
|
|
|
|
|