Sunday, February 15, 2004 |
Ayah membawa rembulan |
Dua hari yang lalu, ayah membawa rembulan. Ya, rembulan yang biasa menggantung di langit malam. Rembulan sebesar bola volley itu diletakkan di atas meja makan. Segera, semburat kuning emasnya memenuhi seluruh rumah. Sudutsudut dinding, langitlangit, kursi, lemari bahkan kolong meja menjadi keemasan karenanya. Kami mengelilinginya, memandang takjub. Lalu kami tergelak tawa ketika satu sama lain saling berpandangan. Tubuh kami menjadi keemasan. Dan langit malam saat itu bertabur bintang tanpa rembulan.
Kemarin, rembulan sebesar bola volley itu masih berada di atas meja makan. Dan kami tetap mengelilinginya, memandang takjub. Tapi kali ini, bukan semburat kuning emas. Sudutsudut dinding, langitlangit, kursi, lemari dan kolong meja menjadi putih keperakan karenanya. Kami tertawa ketika satu sama lain saling berpandangan. Dan langit malam saat itu, kelam tersaput mendung.
Hari ini, rembulan sebesar bola volley itu masih berada di atas meja makan. Dan kami tetap mengelilinginya, memandang heran. Kali ini, sudutsudut dinding, langitlangit, kursi, lemari serta kolong meja tampak seperti biasanya. Seperti ketika rembulan itu belum berada di atas meja makan. Rembulan kini berwarna kusam. Seperti bola volley yang terlalu sering menghantam lantai lapangan, yang berkalikali menyentuh tangan. Kami terdiam ketika satu sama lain saling berpandangan. Rembulan yang ayah bawa hanyalah imitasi. Bukan rembulan yang biasa menghiasi langit malam. Dan langit malam saat ini, penuh bertabur bintang dan penggalan kecil rembulan. Ada pilu dan resah di sorot mata ayah.
Esok, kami meminta engkau tidak membawa rembulan lagi. Tapi sekeping biji. Yang akan ayah benamkan dalam tanah yang telah kau gemburkan. Dan kami, akan senantiasa menebar pupuk di sekelilingnya, menyiraminya dikala terik dan kering. Tak perlu saling menunggu ketika ada yang lupa. Kelak, dari biji itu akan muncul tunas, dahan, ranting dan kelopakkelopak berwarnawarni. Ketika memetiknya bukanlah sebuah kehinaan. Seluruh rumah, sudutsudut dinding, langitlangit, bahkan kolong meja akan dipenuhi semerbak harum kelopakkelopak itu. Kita mengelilinginya, dan tersenyum ketika satu sama lain saling berpandangan.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 9:20 AM |
|
|
|
|
|