Monday, January 12, 2004 |
Mak Lia |
“Di mana mako sekarang nak?”
Syukurlah, di usianya yang kepala tujuh, di antara penglihatannya yang mungkin mulai kabur, ia masih mengenal saya. Ya, ia mungkin hanya mengenal wajah saya, tapi tak mengapalah. Terlalu susah jika ia menghafal satu persatu nama mahasiswa di fakultas kami yang jumlahnya ribuan itu. Baik yang alumni ataupun masih kuliah. Penampilannya hampir tidak berubah. Kerutan ketuaan, rambut yang memutih tertutup rapi dengan selembar kain yang dilipat sedemikian rupa di kepalanya. Penuh kesahajaan dan keramahan.
Kami memanggilnya Mak Lia. Perempuan tua dengan tubuh yang ringkih, berjualan permen, cemilan dan rokok. Ia ada sejak kampus tamalanrea berdiri. Setidaknya, hampir semua mahasiswa FK yang kuliah di kampus baru ini memiliki sepenggal memori tentangnya. Termasuk saya. Dulu Mak Lia menata jualannya di atas meja kayu ringkih, yang siku-sikunya terpaku seadanya. Di lantai dua, samping ruang senat, di antara dua ruang kuliah utama dan laboratorium. Tempat yang selalu ramai, sebagai sekedar persinggahan dan bersosialisasi. Saya paling suka duduk di belakang Mak Lia. Begitu ada teman akrab yang berbelanja, tanpa malu saya segera berteriak,” Mak Lia... Aco/Becce yang bayarkan teh botolku!” Mak Lia hanya tersenyum mendengarnya, sebaliknya, teman langsung balas melotot. Strategi ini kadang berhasil, tapi lebih banyak gagalnya :D heheuheu... Meja ringkih Mak Lia juga sering dijadikan tempat penitipan tas. Maklum, begitu kuliah mulai dengan cara mengajar dosen yang membosankan, setelah isi absen dan dengan alasan mau pipis, kaburlah meninggalkan ruang kuliah. Mau pulang... tinggal ambil tas yang dititip di Mak Lia.
Mak Lia, perempuan yang di usia senja masih gigih mencari rejeki. Sifat malas belajar saya yang tidak ketulungan terkadang dikompensasi dengan berbuat curang di waktu ujian *malu mode on* Datang pagi-pagi, sekedar untuk menge cop tempat duduk dan atur posisi dengan teman berbuat curang *duh.. tambah malu* Di saat seperti inilah, saya menemukan Mak Lia sedang menyapu, mengatur meja dan menata rapi jualannya. Ia baru mengemas jualannya ketika kampus mulai kosong. Dan biasanya, ia akan memberi buah salak atau jeruk yang tersisa untuk kami.
Hampir setahun sudah kami tidak bertemu. Dan siang hari ini, saya menyambanginya. “Sudah lama maki jualan di sini Mak?” Sebuah pertanyaan yang rada-rada konyol saya lontarkan. Tentu saja jawabannya sudah saya ketahui. Dari cerita teman-teman, renovasi besar-besaran di fakultas, men cat rapi seluruh dinding, mengganti tegel tempo doeloe dengan keramik, bangku-bangku kayu rapuh berganti dengan kursi dan meja bergaya mall. Memaksa Mak Lia berpindah tempat jualan. Alasannya sederhana saja, biar lebih tertib dan tidak mengganggu keindahan suasana akademik. Sekarang Mak Lia menempati sebuah ruangan menyerupai pendopo, dekat tempat parkiran, berbagi ruang dengan penjual lainnya dari FK dan FKG. Dan bila hujan berangin kencang, bergegas seluruh jualannya dikemas. Daripada rusak terkena hujan.
“Dua bulan mi Nak.” Senyum selalu saja menghiasi wajahnya. “Dulu waktunya pertama sepi sekali ki nak, tapi sekarang mulai mi ramai. Biasa tong anak-anak koass yang kemari singgah belanja di sini.” Selanjutnya, dialog kami lebih cenderung memutar ulang rekaman masa lalunya. Tentang suaminya yang telah berpulang, ketiga putra-putrinya, hingga perkampungan tempat tinggalnya yang kini berdiri gedung fakultas hukum.
“Dulu di sini hutan jati, rumpun bambu, kebun mangga. Kalau mau masak tinggal ambil sayur di kebun nak, tidak susah. Sekarang kalau mau ki masak semuanya harus beli dulu.” Kali ini matanya menerawang. “Sebenarnya masih ada tanahku yang belum dapat ganti rugi. Katanya tunggu mi saja, nanti ada ji ganti ruginya. Tapi sampai mau ma mati begini belum pi saya dapat. Cape' ma'.” Ia tertawa. Ah.. Mak Lia, sosok yang penuh ketegaran. Tentunya begitu banyak penggalan kenangan tentangmu Mak. Semoga Allah senantiasa merahmatimu dan melimpahkan rezqi-Nya. Amin.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 8:48 PM |
|
|
|
|
|