Monday, December 29, 2003 |
Nggak tau ngasih judul apa... |
Ini cerita dari ibu angkat teman saya. Kami memanggilnya mama ukik. Ibu baik hati ini memulai perkenalannya dengan teman saya melalui chat room. Dalam perjalanan dinasnya ke papua, transit sementara waktu memenuhi permintaan teman untuk menghadiri prosesi penyumpahan dokternya. Cerita berikut saya usahakan apa adanya, tanpa tambahan bumbu lainnya. Tapi mungkin ada beberapa tuturkata yang berubah ataupun hilang, otak saya bukanlah pita rekam yang mampu mengulang semuanya secara sempurna.
“Sudah punya pacar belum?” Ia memulainya dengan sebuah pertanyaan. Yang ditanya malah cengengesan, sesekali melirik layar tv yang menayangkan cerita misteri.
“Kalau sudah punya, harus cepat beri kepastian.” Terhenti sejenak, ia menarik nafas. “Dulu, pacarku yang nyemangatin aku untuk ke jakarta. Katanya, aku harus bisa mandiri, memulainya dari awal. Pacarku itu kerjanya kontraktor, tapi tinggal di rumah kontrakan seadanya. Kamar-kamarnya di sewakan lagi. Katanya lagi, beginilah jakarta, harus bisa bertahan.” Ia tersenyum, lalu melanjutkan kembali ceritanya.
“Setelah berapa lama tinggal di jakarta, tidak kerasan. Pengen pulang ke surabaya saja. Tapi pacar bilang begini, kamu itu... enak, tinggal di rumah kakak kamu yang bisa dibilang serba ada, ayo, ngelamar kerja. Akhirnya aku ngelamar kerja (beliau bekerja di perpajakan hingga saat ini). Kloplah, aku jadi pegawai negeri, pacar di swasta.” Sekali lagi ia tersenyum, menghentikan ceritanya sejenak.
“Tapi selama pacaran 4 tahun, kalau di tanya kapan menikah, jawabannya tidak pernah serius. Di tempat kerja, aku kenalan dengan teman lain. Dia main ke rumah. Nanyain, sudah punya pacar belum? Lha, aku cuman bilang, tidak tahu mas, mau dibilang pacar atau bukan. Empat tahun jalan bareng, tapi tidak jelas mau kemana? Eeh... tidak disangka, temanku itu malah bilang begini, kamu mau nggak jadi istri saya, nanti bulan desember kita menikah (saat itu bulan juni). Ya aku kan kaget, wong dia itu orangnya pendiam, introvert, tidak suka jalan-jalan, nonton, tidak suka olahraga. Bertolak belakang dengan pacarku.” Kali ini ia tertawa.
“Setelah konsultasi dengan orangtua, akhirnya aku menyanggupi untuk menikah dengannya. Pacarku terang marah. Tapi aku bilang ke dia, lha kita jalan empat tahun tapi tidak jelas tujuannya. Dia baru serius sekarang, mau ngelamar saya tapi sudah kedahulauan. Eh... nggak taunya dia nyuruh keluarganya di kampung buat nyari calon istri. Aku juga agak sakit hati jadinya.” Cerita terhenti.
“Tapi aku dengan dia jadinya malah kayak saudaraan. Aku suruh dia datang ke rumah setelah aku menikah, dia datang. Aku kenalkan dia dengan suamiku. Sampai sekarang aku juga masih akrab dengan keluarganya.” Ia kembali tersenyum dan secara sukses membuat saya dan teman sebagai pendengar yang setia, tanpa suatu komentar.
"Oh, ya. Hal yang sama juga terjadi dengan temanku. Tapi dia tetap menikah dengan pacarnya."
Saya yang mendengar ceritanya cuma manggut-manggut. Benar nggak ya? Auk ahh... gelapzz.
PS: buat mama ukik, mohon maap kalau kemarin nggak sempat nemanin jalan-jalan, makasih sudah sharing cerita dan oleh-olehnya :)
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 9:34 AM |
|
|
|
|
|