Thursday, April 08, 2004 |
Tic |
tic [Per.] gerakan stereotipik, berulang kompulsif, dan involunter, yang menyerupai gerakan bertujuan karena gerakan ini terkoordinasi dan melibatkan otot-otot dalam hubungan-hubungan sinergetik normalnya; tic biasanya mengenai wajah dan bahu.(kamus kedokteran dorland)
Alis bergerak terangkat, kedua mata yang berkedip-kedip, kepala yang mengangguk berulang. Entah yang mana muncul terlebih dahulu, atau mungkin bersamaan. Jelasnya, gerakan-gerakan berulang, dengan waktu dan interval tertentu ini, saya alami pertama kalinya seusia kelas tiga bangku sekolah dasar. Dan ini sangat menyiksa saya. Karena muncul tiba-tiba, teori guna-guna pun berhembus. Menurut teori ini, ada orang yang meneluh bokap, tapi berhubung teluh tidak tembus, maka beralihlah ia mengenai saya. Tapi bokap mengatakan kelainan ini, menurut bahasanya disebut sawan. Karena faktor kebiasaan saja. Katanya, saya mengikuti gerakan-gerakan tersebut dari orang lain, mungkin saja bermaksud main-main atau malah mengejek, tapi fatalnya ini jadi kebiasaan. Teori yang ini saya bantah, tidak ada benarnya. Sesuai pintanya, saya mencoba untuk menahan si sawan. Tapi sama sekali tidak berhasil, tengkuk terasa kaku, mata terasa lelah. Dan tiap kali gerakan itu berulang, kepala mengangguk kompulsif, saya merasa letih dan susah untuk bernafas. Yang lebih kasihan lagi, juru foto separuh badan. Harus teriak-teriak memohon agar mata tidak berkedip-kedip.
Satu waktu, dari majalah wanita langganan nyokap, dikatakan gerakan-gerakan ini merupakan gangguan syaraf yang sering ditemui pada anak-anak. Disarankan pula untuk mengkonsumsi tauge, agar gangguan ini sedikit dapat teratasi. Esoknya, gado-gado menjadi sajian makan siang. Menurut nyokap, saos kacang manis akan menutupi rasa tauge yang menurut saya, terasa aneh. Tapi tauge berbumbu saos kacang itu tetap saja utuh, tidak terjamah. Dan si sawan pun dibiarkan begitu saja, karena terkadang ia menghilang dengan sendirinya. Hingga ketika tangan mulai ikut mengejang, menempellah beberapa kabel berwarna-warni di kepala. Dilakukan pemeriksaan bernama EEG. Alhasil, dugaan penyakit ayan tersingkirkan dengan sukses. Tidak ada yang dapat dilakukan lagi, si sawan kembali dibiarkan begitu saja. Kalau ingin menyerang, menyeranglah. Dan bila menghilang, hilanglah ia.
Dan beberapa waktu lampau, saran seorang sahabat :
+ di injeksi botox saja!
- sakit nggak?
+ gak tau, belum pernah ngerasain... hahaha... di poli saraf sudah ada.
- mahal ya?
+ tergantung. ternyata nggak sekali injeksi langsung hilang. ada yang tiga bulan terus injeksi ulang lagi. Ada juga yang enam bulan. siklus tiga bulan tiga ratus ribu, enam bulan ya enam ratus.
- ada efek sampingnya nggak ya? ngeri...
+ kalau itu nggak tau. tapi sudah agak banyak juga yang nyoba.
- di muka?
+ belum pernah lihat. yang pernah datang injeksi karena pergelangan tangannya kaku.
- ooo... dapat potongan harga nggak? mahal...
+ ya nggak tau pak...
Dan beberapa waktu yang lampau pula, saat sedang menilik sepatu-sepatu yang dipajang berjajar, gadis pelayan toko beringsut mundur. Mendekati temannya, lalu cekikik tertahan. Serius memperhatikan sepatu-sepatu, sama sekali saya tidak menyadari polah mereka. Barulah tahu ketika sahabat yang menemani menggamit lengan lalu berbisik, "mereka tadi nyeritain kamu. katanya kamu kecentilan, baru nanya harga sudah main mata."
Haa...? enak saja!!
Separah itukah akibatnya? Bagaimana jika kejadian seperti ini berulang, perempuan yang merasa digoda dan pasangannya salah pengertian pula? Bisa-bisa saya habis, dikira betul-betul kecentilan. Waduh!!
Lama sudah si sawan berbentuk tangan mengejang dan kepala mengangguk kompulsif hilang. Setelah sekian lama, tahulah pula saya, si sawan muncul bila saya terlalu letih. Tapi alis yang bergerak terangkat berulang dan sesekali mata tak henti berkedip, tetap saja ada.
Perlukah untuk injeksi botox?
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 6:56 PM |
|
|
|
|
|