Saturday, April 09, 2005 |
Fulan Sang Terpilih |
Fulan tampak begitu bersemangat, gairahnya meledak-ledak. Wajah sumringahnya ada dimana-mana ; membentang ruas jalan, melekat pohon-pohon, tiang listrik, tembok-tembok halaman rumah, ujung-ujung gang, berkeliling kota di pintu-pintu angkot. Gairah Fulan meletup-letup. Fulan menguras habis pundi-pundi depositonya. Agar mesin-mesin cetak tak berhenti mereplikasi wajah sumringahnya. “Itu asusila. Pelecehan seks terhadap kaum wanita. Wanita mempunyai tempat yang terhormat, bukan untuk dieksploitisir seperti itu,” ceramah Fulan sambil menyebar lembar penanggalan bergambar wajahnya nan rupawan. Tak mengapa, walau tiga bulan penanggalan hampir terlewat. Fulan menguras habis pundi-pundi depositonya. Semua sudut-sudut kota, jengkal demi jengkal, tak ada yang luput dari pengasapan. Pemandian umum, bak-bak penampungan air, sumur-sumur, kolam-kolam, rawa-rawa, danau, sungai, kanal-kanal, got-got ditaburi abate. “Agar anak cucu kita kelak sehat. Terbebas dari spesies-spesies aedes yang menguras habis darah-darah kita,” suluh Fulan. Begitu bersemangat, begitu bergairah, begitu meledak-ledak.“Lihat. Lihatlah binar mata mereka Nak!” Begitu indah bukan? Mereka tampak bercahaya, dengan seragam-seragam baru, putih bersih berkilauan,” jelas Fulan ketika anak-anaknya menanyakan kenapa mobil-mobil milik Fulan habis dijual. “Agar cita-cita mereka yang setinggi langit itu tergapai Nak!”
“Lihat. Lihatlah buliran bening air mata yang menetes jatuh itu Bu! Tidakkah ada haru meresap di hatimu Bu?” tutur Fulan ketika istrinya menanyakan kenapa rumah-rumah milik Fulan habis dijual. “Sedekah ini mungkin tidak seberapa artinya, dibanding kemiskinan yang membelit mereka.” Antrian panjang perempuan-perempuan jompo, bocah-bocah dekil kumal dengan tulang-tulang menyembul, sabar menunggu amplop dalam genggaman Fulan berpindah tangan.
“Kenapa kita harus menimbunnya? Tidakkah cukup sekarung beras untuk bekal kita sebulan?” tanya Fulan pada orangtuanya, ketika sang ibu menanyakan kenapa lumbung-lumbung padi milik Fulan dikuras habis. Dibagikan pada para dhuafa. “Tangan di atas lebih baik Mak. Semoga musim panen nanti akan dilipatgandakan.”
Orang-orang bergembira. Lupa akan perih lupa akan duka. Sang penyelamat telah hadir. Fulan sang pahlawan, Fulan sang pengayom. Seperti rerindang pohon, Fulan memberi kesejukan. Kedermawanannya bagai sulur-sulur menjuntai panjang. Merengkuh, menghibur mereka yang pilu. Dan Fulan tidak sendiri. Ada banyak fulan-fulan lainnya. Ada banyak sulur-sulur menjuntai panjang lainnya. Orang-orang bergantung di sulur-sulur yang menjuntai panjang, bergelayut, berayun, terbuai, terlelap.
Sudah selayaknya Fulan digelar pahlawan, karena ia memang sang penyelamat. Sudah sepatutnya Fulan menjadi orang terpilih, karena memang ia sang pengayom. Demikian sepakat orang-orang. Dan fulan menjadi sang terpilih.
Satu waktu kemudian, orang-orang berlarian serabutan. Sulur-sulur menjuntai itu tiba-tiba mengganas. Membelit, mencekik erat tubuh-tubuh. Yang bergelantungan, melompat menghindar cepat. Yang terlelap, terlambat. Hanya pekik pilu terdengar. Orang-orang berlarian tak tentu arah. Penjual-penjual di pasar bersegera mengemas jualan mereka, sebelum bangunan-bangunan, tenda-tenda rubuh. Pohon-pohon bertumbangan. Asap hitam pekat menari, meliuk-liuk membumbung angkasa. Memerah perih mata orang-orang yang berlari terbatuk-batuk, terantuk, berbenturan. Tanah-tanah mengering, retak terbelah-belah. Habis sudah sari-sarinya terhisap. Makhluk-makhluk mengerikan beterbangan, lebih ganas dari spesies-spesies aedes. Menghisap habis darah orang-orang. Sauh cepat-cepat diangkat. Sebelum pulau hilang terbenam laut. “Kemana kita akan berlabuh? Habis sudah pulau-pulau terkeruk. Tak kan cukup bekal kita.” Orang-orang jejeritan panik.
Di satu ruang, Fulan dan keluarga besarnya mengelilingi meja makan. “Untuk bisa berhasil, diperlukan pengorbanan besar terlebih dahulu Nak,” petuah Fulan bijak. “Lihat, orang-orang itu jejeritan, berlari cemas,” teriak seorang anak Fulan, menunjuk monitor lebar tv. “Ada apa ayah? Mungkin kita perlu berderma lagi,” tanya anaknya yang lain. “Sabar, Nak. Untuk berderma, ada siklusnya, ada waktu yang tepat. Sekarang, sebelum berderma jadilah kaya. Kumpulkan harta sebanyak-banyaknya.” Anak-anak Fulan mengangguk-angguk. Jamuan mewah makan malam berlanjut. Dan orang-orang tetap jejeritan, berlari hilang arah.
*) mengingat para orator kampanye, tetap “semangat”
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 9:56 PM |
|
|
|
|
|