Tuesday, March 08, 2005 |
Ahad pagi hari |
Ahad pagi hari. Semua harus berkumpul. Tua muda, laki-laki, perempuan dengan bayi dalam gendongan, lengan menggamit bocah. Ya, orang-orang harus berkumpul. Untuk satu “tontonan”. Berpanggung putih pasir tepian selat malaka, berlatar biru langit tanpa tepian. Teriakan, bentakan, suara pukulan dan tamparan, pecah nyanyian gelombang cumbu bibir pantai. Semua harus menyaksikan. Membuka mata lebar-lebar, menajamkan pendengaran walau untuk itu harus mengatup geraham kuat-kuat. Kata mereka, orang-orang berseragam, ini pelajaran bagi mereka yang lalai. Lalai karena terlupa akan identitas; barisan abjad yang tersusun dalam potongan kecil kertas berwarna merah putih. Semua tetap harus berkumpul. Walau sesaat tanah bergetar hebat. Pantang meninggalkan tontonan, karena ia belum usai. Hingga laut menumpahkan amarahnya, Menggulung-gulung dalam tiga gelombang, menjumpai pucuk-pucuk nyiur. *** Rupanya kami salah. Ia tetap saja rapuh, tidak setegar yang kami sangkakan. Perempuan muda, bersandar di dinding teras meunasah, menghentikan ceritanya. Butiran bening mengambang di pelupuk matanya. Lalu senandung kecil mengalun dari bibirnya, halau episode kelabu. Maap, jika kami mengingatkanmu kembali.
|
posted by adhip @ dalam hening kata, kala 5:18 PM |
|
|
|
|
|